Jarum jam tak mau menunggu, saat laju kereta jadi hal yang ditunggu. Hari demi hari terlewati dalam pesan text atau telepon genggam yang sedang akrab-akrabnya. Langit Bogor tak melulu cerah merona saat hujan lebih giat menunjukan insenitasnya. Rindu melambung terbawa angin kearah selatan pulau Jawa, ada dia yang menunggu tanpa resah dalam rindu. Perjumpahan jadi salah satu obat yang paling ditunggu, belasan atau mungkin ribuan kilometer jarak tak memudarkan ingatan tentang kita yang saling tunggu.
Malam itu aku siap dengan ranselku menyusuri pedesaan, melalui ribuan palang pintu rel kereta, bertegur sapa dengan teman sebangku yang entah dari mana asalnya, semua melebur jadi satu cerita yang menarik. Belum lagi riuh pedagang asongan didalam gerbong memberi kehasannya sendiri tentang perjalan hampir 12 jam duduk di kereta itu, alunan lagu dari band padi yang berjudul perjalanan pun jadi soundtrack yang tepat untuk didengar. Dengan sedikit cemas mata perlahan tertidur tanpa diminta. Pagi akhirnya datang menyapa dengan sinar matahari yang cukup menyengat mata, dengan riuh logat has jawa yang menandai kota tujuan sudah dekat. Tak sadar pesan singkat di handphone begitu padat. Tapi tidak aku temui kamu yang siap menyambut seperti biasanya. Akhirnya stasiun Lempuyangan menjadi pemberhentian terakhirku pagi itu, dengan sedikit kebingungan dan rasa bahagia aku bergegas mencari angkutan umum. Betapa terkejutnya saat ingin meninggalkan stasiun kamu sudah berdiri ditepi jalan dengan senyum terbaik dan tutur kata yang mampu membuat rindu terobati seketika.
Akhirnya peraduan kini memadu dalam rindu yang terucap dan kasih yang bergejolak, jalan Malioboro jadi saksi dua nadi dalam satu harapan, bakso pak Narto di condong catur alasan terbaik menikmati siang yang terik di kota itu, jalan lurus menuju Parangtritis saksi bisu keriaan yang terpendam cukup lama sampai akhirnya menikmati malam disebuah jalan bernama Sosrowijayan. Hingga debu Merapi yang masih berterbaran sedikit menyesakkan pernafasan dan aliran kali code menyisakan lahar dingin tak berkesudahan.
Masih teringat di ingatan sebelum aku kembali meninggalkan Jogja kamu mengajakku ke lotek colombo yang akhirnya menjadi tempat makan favorit ketika berkunjung ke Jogja. Beberapa hari terlewati dengan kisah baru yang selalu menyenangkan semoga akan terus berkelanjutan cerita ini.
Dan akhirnya Bogor menjadi kota yang menunggu. kembali pada rutinitas dengan hubungan terbentang ratusan kilometer tak menjadi rintangan bagi kita yang dilanda asmara. Sampai akhirnya kita terputus, terpisah, memuai dan terbawa awan.. kisah ini mungkin singkat, tapi bagiku jogjakarta sudah seperti rumah kedua dengan keanekaragamannya, keramahannya, kearifan lokalnya dan semua isinya. Jogjakarta aku ingin kembali.
Komentar
Posting Komentar